Jumat, 16 Februari 2018

Harapan Yang Berujung Menyakitkan

Harapan yang Berujung Menyakitkan

Mentari katulistiwa tersenyum merekah di Kota Bogor, air embun masih bersemayam di atas daun-daun segar nan hijau, awan yang tak kalah biru berkumpul di atas sana, burung-burung hilir mudik mencari rizkinya, jalanan yang masih basah karena hujan semalam melengkapi indahnya kota bogor. Aku yang masih berdiam diri setelah membuka jendela lebar-lebar menyambut keindahan alam-Nya yang menggoda, membuat hati tenang nan tentram, menyejukan pandangan dan menyegarkan badan. Alloh memang Maha Baik, semalam Dia turunkan rizki untuk makhluk-Nya yaitu melalui hujan, dan pagi hari ini Dia berikan keindahan ciptaan-Nya yang begitu indah yang tak ada seorangpun bisa menandinginya. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain bersyukur kepada-Nya bisa merasakan nikmat yang sangat luar biasa. Apalagi kalau bukan tinggal di satu kota yang menurutku luar biasa indahnya. Bogor.
Hari ini cerah, namun tak secerah hatiku saat ini. rasa sakit yang masih membekas di hati setelah 2 tahun lamanya karena seseorang meninggalkanku tanpa alasan. Menyedihkan!!. Itu saja yang ada di pikiranku saat ini. pikiranku jadi kacau karena peristiwa yang menyakitkan itu. Membuat tidak semangat saja.
Dia tersadar dari lamunan setelah ia mendengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Siapa lagi kalau bukan ibu. Seorang perempuan hebat yang Alloh ciptakan untuknya, beliau yang selalu ada, beliau juga yang rela mati-matian demi anaknya, rela berkorban apapun, lebih baik dari laki-laki yang menyebalkan itu. “Arrrggghhhttt…, dia lagi dia lagi,” gumam Gia pada pagi itu. Gia mulai geram dan panas, hatinya berkecamuk jika teringat laki-laki 2 tahun yang lalu meninggalkannya. Gia membuang jauh-jauh ingatannya, bergegas menghampiri ibunya yang dari tadi menunggu untuk menemaninya sarapan pagi.
“hari ini kamu kuliah nak?”
“iya bu, hari ini juga kayaknya Gia pulang sore soalnya ada tugas yang harus Gia selesaikan sama temen-temen”
“hmmm oke, tapi setelah itu langsung pulang yaa, jangan keluyuran!!”
“okeh bu..,” jawab Gia dengan tangan mengangkat memberikan tanda hormat.
Kampus hari ini masih sama dengan hari-hari sebelumnya, indah, asri, hijau dan sejuk. Apalagi area masjid tempat beribadah para mahasiswa. Sesejuk embun di pagi hari. Tempat dimana semua orang bermunajat, tempat mengadu, tempat meminta beribu-ribu permintaan. Termasuk tempat favoritnya untuk sebuah pertemuan. Yaa.. kenapa tidak, setiap hari bahkan setiap saat jikalau ada janji untuk bertemu Gia memilih mesjid sebagai tempatnya. Supaya tidak menimbulkan fitnah jikalau harus bertemu dengan ikhwan sekedar memberikan pinjaman buku atau hal-hal yang lainnya. Dan untuk menguatkan lagi ia selalu ditemani sahabat dekatnya. Lila Ayshalynn namanya.
Hari ini Gia yang sampai duluan di mesjid ini. teringat ada janji dengan Lila. Dibukanya buku yang dari tadi ada pada tangannya. Namun, lima menit kemudian buku itu telah lenyap dari tangannya, disimpan kembali di dalam tas berwarna hitam di pangkuannya. Sepertinya mood Gia sedang kacau. Seperti orang yang tidak makan lima hari. Pucat pasi, tak ada gairah.
“kenapa lagi, inget Rahman lagi?,” tanya Lila yang dari tadi memperhatikan gerak-gerik gia yang tak bergairah.
Gia mengangguk pelan meyakinkan. Lila yang dari tadi menunggu jawaban hanya bisa menghela nafas panjang melihat sahabatnya terus-terusan mengingat peristiwa 2 tahun yang lalu.
“nggak ada bosen-bosennya ya kamu Gi, terus aja inget masalah itu. Padahal kemaren-kemaren kan fine. Kamu ceria-ceria aja nggak ada masalah, tapi sekarang kenapa?,” tanya Lila yang heran akan sikap Gia yang masih terhanyut dalam bayang-bayangnya Rahman.
“aku nggak tau Lil, tiba-tiba aja aku ingat semuanya tadi pagi. Entah kenapa, aku ingat dia terus pikiranku enggan untuk menyudahi. Bahkan sekarang seolah-olah terus mengikuti,” tangan Gia menutupi wajahnya mencoba menyembunyikan deraian air mata yang mulai membasahi pipi.
“aku ngerti Gi, sulit bagimu untuk melupakan itu semua. Tapi cobalah untuk terus melupakannya sampai kamu tidak mau mengingatnya kembali,”
“tapi itu semua terasa sulit untukku Lil, 2 tahun itu tidak sebentar, 2 tahun yang aku habiskan dengan canda, tawa, gembira…,” kata-kata Gia terputus.
“dan terluka seperti sekarang ini?,” tandas Lila.
“entahlah.” Gia semakin terpukul begitu juga dengan air mata yang mengalir begitu deras bak hujan mengguyur tanah yang kering.
“ayolah Gia, come on. Kamu harus kuat, jangan gara-gara 2 tahun itu ketika kamu dilanda cinta yang tidak halal sedikitpun, kebahagiaan yang hanya sesaat, janji-janji yang tidak ada buktinya sama sekali, gara-gara 2 tahun kamu harus seperti ini. mana Gia Hana Fauzia yang selalu ceria? Gia yang tidak pernah putus asa hanya karena seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab, aku rasa itu semua hanya sia-sia,” ucap Lila panjang lebar.
Gia tak berkutik setelah mendengarkan omongan Lila yang menyudutkannya bagaikan seorang terdakwa. Air matanya masih mengalir deras, tangannya pun masih menutupi wajah ayunya.
“denger ya Gi, dengan cara Rahman meninggalkanmu berarti Alloh telah menunjukan sebagian besar bahwa Rahman adalah laki-laki yang nggak baik buat kamu, dan asal kamu tau kalau laki-laki yang baik itu tidak seharusnya mengajak pacaran, tidak pandai mengumbar janji-janji palsu yang tidak ada buktinya, dan sebagian kesalahan ada pada dirimu.”
Sontak Gia terbelalak mendengar ucapan sahabatnya yang tidak terduga akan berbicara seperti itu. “salahku apa, aku hanya seorang perempuan yang mencintai makhluk-Nya dengan caraku sendiri,” ucap Gia menyanggah.
“yaa memang benar kamu mencintainya, tapi itu semua salah Gi. Bukan seperti itu caranya. Dan satu kesalahanmu yaitu kamu percaya sama janji-janjinya,” ucap Lila tandas.
“aku bingung Lil, apa yang harus aku lakukan?,” tanya Gia seolah mencari jawaban.
“sekarang hapus air matamu, lupakan semua masa lalumu yang akan membuatmu terus jatuh. Lalui harimu dengan selalu tawakal kepada Alloh, aku yakin jika seseorang benar-benar mencintaimu dia akan datang menemui orangtuamu, niatkan dalam hatimu untuk istiqomah di jalan-Nya, selalu perbanyak istigfar,” ucap Lila menyemangati.
“makasih ya Lil kamu nggak cape buat nasehatin aku.”
“iya Gi sama-sama, kita kan sahabat yang udah kaya sodara. Jadi apa salahnya kan kalau saling mengingatkan ketika teman kita lagi susah.”
“iya.. iya…” seketika Gia tersenyum, tenang dan lega.
Percakapan yang panjang itu menjadi pembelajaran untuk Gia bahwa sekedar hubungan yang tidak sehat itu hanya akan menyiksa dan memberikan luka yang dalam. Terlebih Alloh tidak mau jika aturan-Nya terus-terusan di langgar. Beda lagi jika semuanya didasari dengan ridho Alloh pasti akan berjalan lancar bahkan pahala dari-Nya akan terus mengalir. Dan satu lagi bahwa berharap kepada selain Alloh itu menyakitkan. Kita sebagai makhluk-Nya diberikan cinta dalam diri masing-masing dan satu tujuannya yaitu mencintai-Nya setelah itu barulah mencintai ciptaan-Nya. Karena Alloh tidak mau jika hamba-Nya mencintai selain Dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar